top of page
01.jpg

Panggung Para Pahlawan

13 November 2020

Melalui kanal Zoom

Webinar PSP UNPAR x SSAS #03
07.jpg

Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) adalah sebuah organisasi nirlaba yang fokus pada pengembangan seni dan budaya visual kontemporer di Indonesia, terutama di Bandung. Program utama kami berupa eksibisi seni rupa kontemporer, namun di samping itu kami juga terus berupaya mewadahi forum-forum seni-budaya berkualitas untuk edukasi publik, salah satunya melalui program seri diskusi yang bekerjasama dengan beragam lembaga pendidikan, salah satunya adalah LPPM UNPAR. Tahun ini adalah tahun pertama kerjasama kami dengan Pusat Studi Pancasila UNPAR, merespon kondisi pandemi kini, banyak pula pameran maupun diskusi kami yang dialihkan dari program luring menjadi daring.

"Sebagai usaha kami untuk terus memperluas jangkauan program-program edukasi multidisiplin, tahun ini kami berencana untuk melaksanakan seri seminar daring (webinar), Pembahasan topik-topik kesenian yang dekat dengan visi dan misi SSAS akan dikolaborasikan dengan prinsip-prinsip kesejarahan dan nasionalisme yang diteliti oleh lembaga kolaborator bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, dalam webinar mendatang kami akan mengangkat perupa muda dan narasi sejarah Indonesia dalam karya-karya mereka."
Siapapun yang dengan sepenuh hati menerima jalan kepahlawanan sadar bahwa membangun dan mempertahankan sesuatu tidak akan pernah selesai. Mereka –para pahlawan –adalah orang-orang itu: yang cukup sabar untuk terus melindungi saat angin kencang menerjang. Ada dua tipe pahlawan, yang bersabar dan bertekun dalam sebuah imaji jangka panjang. Dan yang terus aktif merangkul dan meraih demi sebuah gagasan bernas, ramah pada siapapun yang ada. Seorang seniman bisa menjadi keduanya. Ia bisa menjadi penghasil karya yang menjadi monumen kesabaran dan ketekunan; dan ia juga dapat menjadi perangkul bagi yang sevisi dengannya, berjuang untuk kesejahteraan. Seorang pahlawan dalam pemikiran Sanento adalah dirinya sendiri seutuhnya —sudah lebur dengan yang lain. Sangat mungkin, dengan demikian, inilah formulasi yang kita harapkan, yang dapat menyatukan dua sisi heroik yang telah kita bahas sebelumnya. Namun melihat kenyataan yang kita hidupi sekarang di negara ini —tawaran kata “mungkin” masih terbuka untuk dipertanyakan dalam diskusi ini.
07.jpg

Aminudin TH Siregar

Aminudin TH Siregar, menyelesaikan sarjana seni grafis dengan tema Petani pada 1997 dan pasca sarjana di FSRD-ITB dengan judul tesis Analisa Diskursif Seni Rupa Modern Indonesia pada 2006. Sejak 1999 diangkat menjadi Pegawai Negeri dan dosen tetap di FSRD-ITB, aktif bekerja sebagai kurator pameran, menulis kritik di sejumlah media massa lokal dan nasional, menerbitkan dan menulis buku BlupArt! (pod, 1999), Seni Lukis Baru: Setelah Seni Non Representasional di Bandung (2004), Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar dan Pemikiran S. Sudjojono (2011); menyunting buku Modern Miring (2005) dan Seni Rupa Modern: Esai-esai Pilihan (2006). Pada 2002 melakukan riset kuratorial di New York atas undangan Asian Cultural Council selama 3 bulan; meriset Seni Rupa Indonesia di Masa Pendudukan Jepang: Keimin Bunka Shidosho di Fukuoka Asian Art Museum (FAAM, 2008), Jepang selama 3 bulan; mengikuti lokakarya mengenai Museum and Cultural Heritage di Belanda selama 1 bulan (2014); menerima grant dan mengikuti lokakarya Reconciliation And Cultural Recovery Program dari Australian Award Fellowship di University of Melbourne selama 1 bulan (2014); menjadi ajun kurator di The National Gallery of Singapore untuk masa kerja 1 tahun (2014-2015). Kini bekerja sebagai dosen di FSRG-ITB dan kandidat Ph.D di Universitas Leiden, Belanda.

Dede Pramayoza

Dede Pramayoza, adalah peneliti dan dosen Seni Teater di ISI Padangpanjang. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 Seni Teater di STSI Padangpanjang pada tahun 2005, ia melanjutkan ke Program S2 dan S3 di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, UGM, Yogyakarta, masing-masing diselesaikan pada tahun 2012 dan 2019. Sejak tahun 2016 menjadi Pendiri dan Direktur Pasa Harau Festival. Sejak tahun 2016 pula mendirikan Teraseni; Institut untuk Ekosistem Seni Budaya. Bekerja sebagai Tim Ahli Kurasi dan Produksi Platform Indonesiana, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia sejak tahun 2018. Ikut mendirikan dan bergiat di Begawai Nusantara; Jaringan Festival Warga sejak tahun 2017. Bukunya yang telah terbit adalah: Dramaturgi Sandiwara; Potret Teater Populer dalam Masyarakat Postkolonial (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013) dan Berkunjung Ke Rumah Sendiri (Bersama Heru Prasetia, Yogyakarta: Yayasan Umar Kayam, 2019). Kini bersama istri dan kedua anaknya berdomisili di Kampung Manggis, Padangpanjang, Sumatera Barat.

 

Untuk informasi lebih lanjut, mohon hubungi:

Adytria Negara

Program Manager

program@selasarsunaryo.com

+62 851-9500-4505

bottom of page