Apa yang s̶u̶d̶a̶h̶ dilakukan seni?
27 November 2020
Melalui kanal Zoom
Seri Diskusi Afternoon Tea #47
Saat dunia hidup manusia menjadi sangat mudah dan nyaman oleh kecanggihan peradaban yang ia hasilkan sendiri, seni menjadi sangat asing. Tadinya seni sangat dekat dengan keseharian hidup manusia – tekhne/ars -yang dekat dengan kerajinan. Setelah Hegel seni “berakhir” -ia menjadi dirinya sendiri: hantu tanpa wujud yang gentayangan ke mana-mana, didupai oleh para akademisi yang berbicara tanpa henti soal hakikat seni yang hanya dipahami mereka sendiri. Para pawang bekerja keras ratusan tahun untuk menangkap arwah seni dan mengembalikannya ke keseharian. Seni akhirnya menjadi multifaset: ia ada di mata rantai komersial tetapi menjadi nyata juga dalam tindakan yang berdampak tegas.
"Sialnya, seni sekarang kembali lepas lagi -kali ini terpaksa lepas dari genggaman kita. Kita boleh bicara tentang kehebatan manusia dalam hal emosi; namun mesin pun sekarang bisa emosional. Lantas apa yang dilakukan seni sekarang? Algoritma bisa melukis, dan mematung, dan apapun yang ada di dalam angan-angan artistik kita -semua tinggal menunggu waktu. Mungkinkah ada -secuil -yang bisa dilakukan seni? Sekali lagi, berharap pada keunggulan absolut Homo sapiens-sapiens bisa menjadi perkara yang sangat naif -dan bahkan narsistik. Mungkin saatnya sekarang kita manusia merenung dan mencoba melihat ke belakang."
Itulah yang pada hakikatnya dilakukan oleh Tromarama-melihat ke belakang -retrospektif. Lantas apakah ini berarti sebuah keisengan tanpa isi dari mereka yang menabrak tembok di segala arah? Sepertinya tidak. Minimal saat mereka menunjukkan apa yang mereka sudah lakukan. Ketiga seniman dalam kolektif ini menunjukkan bahwa melihat ke belakang bisa menjadi sesuatu yang sangat bernas.
Tromarama
Tromarama adalah kelompok seniman yang dibentuk tahun 2006 oleh Febie Babyrose, Herbert Hans dan Ruddy Hatumena. Tertarik pada gagasan hiperrealitas di era digital, proyek mereka sering mengeksplorasi hubungan timbal balik antara ruang virtual dengan ruang fisik. Karya mereka sering menggabungkan video, instalasi, program komputer dan partisipasi publik dalam jaringan untuk menunjukkan bagaimana peran media digital dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap realitas di lingkungan sekitarnya. Mereka tinggal dan bekerja di Bandung dan Jakarta.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Lahir pada tahun 1977, Mardohar B.B. Simanjuntak adalah dosen estetika di Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung. Selain aktif mengajar dan meneliti di universitas, juga menjadi pegiat fotografi independen dan menjadi pembicara di forum seperti Seminar Estetik “Larut” yang diadakan oleh Galeri Nasional Indonesia, moderator di berbagai forum kebudayaan, menulis buku tentang estetika, filsafat dan politik, dan turut pula berpartisipasi dalam pameran kelompok yang diadakan di Bandung.
Untuk informasi lebih lanjut, mohon hubungi:
Adytria Negara
Program Manager
+62 851-9500-4505