Selasar Sunaryo Art Space yang dahulu dikenal dengan nama "Selasar
Seni Sunaryo" dibangun selama kurang lebih tiga tahun emenjak
1994, di atas tanah seluas 5000 meter, sebagai realisasi dari mimpi
berkepanjangan Sunaryo untuk mewujudkan sumbangannya terhadap perkembangan
infrastruktur seni rupa di Indonesia.
Bentuk dasar bangunan Selasar Sunaryo Art Space secara keseluruhan
diambil dari bentuk "kuda lumping" yang merupakan salah
satu artefak kebudayaan tradisional Indonesia. Kata "Selasar"
pun dipilih sebagai konsep ruang terbuka yang menghubungkan satu
ruangan dengan ruangan yang lain, menghubungkan satu bangunan dengan
bangunan yang lain. Konsep utama "Selasar" dalam hal ini
adalah menghubungkan seni dengan kehidupan, menghubungkan karya
seni dan pemirsanya sekaligus menghubungkan satu budaya dengan budaya
yang lain. Selasar sangat terbuka bagi publik yang ingin menikmati,
mengamati dan mengkaji karya-karya seni budaya yang terpilih dan
merepresentasikan dinamika perkembangan seni rupa di Indonesia dan
mancanegara.
Pembukaan Selasar Seni Sunaryo pada bulan September 1998 ditandai
dengan pameran tunggal Sunaryo bertajuk "Titik Nadir"
yang sekaligus merupakan refleksi sang seniman terhadap kondisi
sosial-politik di Indonesia yang saat itu carut marut dan dinaungi
keputusasaan: krisis ekonomi, reformasi bergulir, rejim Soeharto
tumbang dan rakyat dilanda kekurangan pangan. Alih-alih membuka
sebuah museum seni rupa yang telah dirancang dan dibangun dengan
cucuran keringatnya, ketika itu Sunaryo malah memutuskan untuk membungkus
semua karya dan beberapa bagian bangunan dengan kain hitam sebagai
cerminan dari kondisi kreativitasnya yang gamang, bahkan mencapai
"titik yang terendah". Karya-karya yang sedianya hendak
dipamerkan dalam pembukaan tersebut dihadirkan sebagai sebuah konfigurasi
karya baru dengan reinterpretasi baru pula. Di salah satu sudut
pintu masuk, diatas kain hitam tertulis pernyataannya yang menyentuh:
"Prahara negeri kita telah mendesak saya membungkus karya-karya
ini. Sejak awal 98, telah hilang daya untuk berkreasi seperti biasanya.
Rasa gusar, pedih, cemas membuat semua beku terhimpit segala krisis
"sampai titik nadir" Dalam proses pembungkusan, terjadi
interaksi, bagai berkarya di atas karya. Mengikat, melipat, merajut.
Sampai kapan terdiam dan tetap terbungkus" Entah".menunggu
negeri kita mulai berseri."
Semenjak pembukaannnya hingga tahun 2002 Selasar Sunaryo Art Space telah mengalami beberapa renovasi dan pengembangan struktur fisik, termasuk pengadaan fasilitas-fasilitas penunjang aktivitas pameran seni rupa. Beberapa pameran dan pementasan seni pertunjukan dengan skala besar telah diselenggarakan, meskipun beberapa karya patung Sunaryo dan sudut-sudut bangunan tersebut masih terbungkus kain hitam yang lapuk dan kumal.
Bangunan ini punya sejarah dan perjuangan yang panjang.
|