Dalam rangka ulang tahun yang ke-19, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) dengan bangga mempersembahkan re: emergence. Sebuah pameran yang menampilkan karya seni dari tiga puluh seniman muda Bandung
Agugn | Bagus Pandega | Bandu Darmawan | Banung Grahita | Cinanti Astria Johansjah | Duto Hardono | Eldwin Pradipta | Erik Pauhrizi & Erika Ernawan | Erwin Windu Pranata | Fajar Abadi | Guntur Timur | Haikal Azizi | J.A. Pramuhendra | Maharani Mancanagara | Michael Binuko | Muhammad Akbar | Mufti Priyanka | Muhammad Zico Albaiquni | Nurrachmat Widyasena | Patricia Untario | Radi Arwinda | Riar Rizaldi | Sekarputri Sidhiawati | Syaiful Aulia Garibaldi | Theo Frids Hutabarat | TROMARAMA | Wiyoga Muhardanto | Yogie Achmad Ginanjar | R. Yuki Agriardi | Yusuf Ismail
"Judul re:emergence dalam pameran ini mengandung makna ganda. Yang pertama dan harafiah merujuk kepada ‘kemunculan kembali’ seniman-seniman yang pernah mengikuti pameran dua tahunan Bandung New Emergence (BNE) di Selasar Sunaryo Art Space. Sejak penyelenggaraannya yang pertama pada 2006, BNE telah secara konsisten menampilkan karya- karya seniman muda yang merepresentasikan perkembangan mutakhir seni rupa di Bandung."
Yang kedua, re:emergence bukan hanya sebuah “reuni”, tapi juga bingkai kerja kuratorial yang khusus. Karya-karya dalam pameran ini dikerjakan dalam hubungan dengan gagasan tentang ‘memori artistik’, yakni sebagai kemampuan manusia yang dengannya seseorang dapat menyimpan dan mengingat kembali kapasitas artistik tertentu. re: emergence menempatkan tindakan mengingat sebagai impuls untuk membangun ‘hubungan- hubungan artistik’ di antara karya-karya dalam pameran dengan karya, peristiwa seni rupa dan sosok-sosok seniman lainnya.
Pameran ini pada awalnya tidak berambisi untuk menampilkan suatu sejarah seni rupa. Namun dalam realisasinya karya-karya para seniman ternyata bergerak ulang-alik di antara ‘persinggungan’ maupun ‘manuver’ dari wacana sejarah. Sebagian karya dalam re: emergence memang berbicara tentang sosok-sosok maupun karya seniman yang telah ‘populer’ dalam wacana sejarah seni rupa Indonesia, tapi justru melalui cara-cara yang bebas, misalnya dengan menggali pengalaman- pengalaman testimonial, subjektif — yang boleh jadi ‘non-ilmiah’. Di pihak lain, sebagian seniman tidak serta-merta menjauhi metode sejarah yang konvensional — seperti studi arsip dan wawancara, misalnya. Tapi cara-cara itu dilakukan untuk membicarakan karya-karya, pameran ataupun sosok-sosok seniman yang absen atau telah terlupakan dalam sejarah.
Untuk informasi lebih lanjut, mohon hubungi:
Adytria Negara
Program Manager
+62 851-9500-4505