top of page
Leuwigoèng (Basa Sunda) dalam Bahasa Indonesia kira-kira berarti pusaran air di sungai. Nama tua sebuah kampung di kawasan Dago, Bandung Utara; di suatu sisi lembah dengan sawah, kolam, dan kebun. Pasangan Prilla Tania (Pila) dan Adjo Akasia (Adjo) tinggal serta menggarap tanah di sana. Mereka membuka “Rumah Ramah” tiap akhir pekan, saat orang bisa bertemu muka, beramah-tamah, dan menikmati sajian Hasil Bumi, dari tanah itu.
"Saat krisis pandemik melanda pada 2020, Rumah Ramah tutup. Pila dan Adjo menjadi petani penuh waktu. Hari-hari dilalui dengan mengolah tanah. Pandemi memaksa semua orang untuk berdiam di rumah. Bagi orang kota, hal ini membuat gaya hidupnya makin menjauh dari sumber pangan. Dalam masa pembatasan sosial, makanan datang berbungkus-bungkus dihantar ke muka rumah. Sumbernya dari mana? Entah."
Padahal, secanggih apapun kemajuan teknologi, serta seperti apapun perubahan gaya hidup manusia, satu hal tak berubah: kita makan dari Hasil Bumi.
Perilaku Pila dan Adjo di Leuwigoèng menarik sejumlah orang untuk datang; untuk bertukar pikiran, sebagian berminat ikut beraktifitas di sawah dan kebun, anak-anak bermain di alam terbuka. Ada yang datang untuk menyepi dan bekerja. Ada yang sekadar ingin menghirup udara segar.
Pada pameran ini tampil delapan orang yang terlibat intensif di Leuwigoèng. Masing-masing datang dengan latar dan motif beragam, namun diikat oleh hal yang sama: tanah. Delapan orang ini bersepakat mengemas pengalamannya melalui kerja artistik. Pasalnya adalah kehidupan kota yang serba berbatas dan merenggangkan hubungan manusia dengan sumber pangan. Orang kota lupa pada tanah, pada Siapa yang Menghidupi. Di Leuwigoèng kita bisa kembali menyentuh tanah.
Barangkali ini cara untuk menyadari perjalanan pulang itu sendiri.
Untuk informasi lebih lanjut, mohon hubungi:
Adytria Negara
Program Manager
+62 851-9500-4505
bottom of page