Afternoon Tea #27: Sesuatu Tentang Reka Ruang

 

Afternoon Tea #27: "Sesuatu Tentang Reka Ruang" 

Sabtu, 20 September 2014 

Pk. 15.00 - 18.00 WIB

Pustaka Selasar

Selasar Sunaryo Art Space

 

Pembicara: Indah Widiastuti (OC Arte-Polis 5 | Dosen ITB), Agus S. Ekomadyo (IAI Jabar | Dosen ITB), Deddy Wahjudi (Pecha Kucha | LABO | Dosen ITB), Kanya P. (Ikatan Mahasiswa Arsitektur - Gunadharma, ITB)

Moderator:Sarah Ginting (Arsitek)

 

Tipologi perkotaan pada negara berkembang seperti Indonesia, memiliki permasalahan umum sama, yaitu ketidakkonsistenan antara realisasi pembangunan dengan perencanaan tata ruang. Apalagi pada pemerintahan yang cenderung mengazaskan “hukum adalah kapital, pula sebaliknya”, terbukti efektif menghasilkan kesemrawutan zoningfungsi urban. Kota pun terbagi menjadi kantong-kantong “tertata” -biasanya dikelola pengembang- yang sangat kontras dengan kondisi sekelilingnya, yaitu area urban yang berkembang secara organik sehingga kumuh. Wilayah tersebut minim dengan infrastruktur standar, bersirkulasi sempit, serta dijamuri permukiman kurang layak huni, yang ruang luar antar bangunannya padat, dihiasi sampah berserakan.

Pada wilayah “tertata” yang biasanya dikuasai pengembang, secara perlahan tapi pasti menguasai setiap sudut kota. Berhulukan tingginya biaya-biaya non-teknis dalam praktik pembangunan berhilirkan harga lahan tinggi, membuat fasilitas urban bernilai komersial. Yang pasti, kenyamanan (ketidaknyamanan?) umum jarang yang gratis. Jadi jangan heran bila lahan hijau ditata menjadi mal, karena trotoar saja pun banyak dilapakkan. Sehingga sulit dibantah fakta bahwa kota-kota lebih sukses mengapitalkan lahannya, dibanding efektif mendistribusikan fungsi-fungsi ruang bagi  kebanyakan  warga.

Permasalahan di atas, diperumit lagi dengan ketidakdisiplinan banyak warga yang enggan diatur. Tak heran, nilai-nilai sosial pun semakin dipinggirkan. Ujung-ujungnya gaya hidup stres menjadi keniscayaan, terutama di kota-kota besar Indonesia. Kota sebagai ruang irisan multi kepentingan, gabungan flows of activities ‘jaringan perilaku’ masyarakat. Membentuk pola rumit yang rentan menimbulkan beragam masalah, akibat setiap perilaku dilatarbelakangi perbedaan karakter sosial budaya, serta beragam motivasi yang dipengaruhi tingkat ekonomi maupun pendidikan. Keseharian mengaksiomakan kebutuhan, sekaligus indikator utama penentu skala proporsi keefisienan serta keefektivan perancangan sistem. Setiap aktivitas pada warga tanpa terkecuali bernilai hak dan kewajiban, membutuhkan pengaturan atau desain perencanaan ruang urban.

Realita urban kontemporer ini akan kita diskusikan bersama, terutama dari sudut pandang praktisi maupun akademisi arsitektur. Terutama menyangkut inisiatif individu maupun komunitas dalam “menyelamatkan” ruang kota. Walau kapitalisme sulit untuk dibendung, bukan berarti peran aktif warga mustahil mereka ruangnya bertinggal ke arah yang lebih baik, sebab urban adalah ruang asasi setiap warga yang bersifat politis yang dijamin undang-undang.

Sarah Ginting