Bunawijaya Membaca Langit Merapi

Pameran tunggal Bunawijaya

Kurator:  Jim Supangkat

19 Oktober - 4 November 2012

Bale Tonggoh - Selasar Sunaryo Art Space

 

 

Bunawijaya telah aktif berkegiatan melukis selama hampir lima belas tahun—tanpa putus sejak 1998. Melalui 15 lukisan landscape dan seascape dalam pameran tunggalnya yang ditampilkan di Bale Tonggoh, dapat dilihat bahwa konsep dalam kegiatan melukisnya berbagai perhitungan dilakukan untuk mengembangkan aspek-aspek artistik. Bunawijaya menyadari bahwa melukis adalah pengungkapan sensibility yang mencari makna dan nilai-nilai dalam proses merenungkan realitas. Kesadaran ini bisa diamati sebagai renungan berdasarkan rasa—dekat dengan intuisi—yang berada di ruang metaphisis, dimana dalam pemahaman filsafat seringkali dikenal sebagai ruang di mana pemikiran-pemikiran abstrak muncul. Di ruang ini kepekaan seni bersentuhan dengan pemikiran dan memunculkan buah pikiran (ungkapan seni) yang berbeda dengan pemikiran filosofis karena memerlukan pembacaan. Corak lukisan landscape yang beragam memperlihatkan keterikatan Bunawijaya pada konteks realitas (gejala yang pada perkembangan sekarang lebih banyak diamati) alih-alih penampilan individualitas atau originalitas (gejala yang relatif dianggap tidak penting lagi pada perkembangan seni rupa sekarang ini).

Peristiwa meletusnya Gunung Merapi mempengaruhi pandangan Bunawijaya tentang alam. Muncul semacam konflik batin dalam dirinya dimana ia berkeras dalam mempertahankan persepsinya tentang alam yang selalu membangkitkan rasa indah dan rasa damai. Kendati tidak eksplisit ada dorongan menolak kenyataan, alam bisa menjadi “buas”; pada bencana alam bisa menyapu kehidupan di bumi dalam waktu sekejap. Gambaran ini jauh dari keindahan legendaris langit Merapi yang dikenalnya. Dimulai dari kejadian ini, ia menghadapi pengalaman dan perasaan yang membuat ia seperti dipaksa untuk menemukan idiom-idiom baru.

Melalui lukisan bertema Merapi, Bunawijaya mengembangkan persepsinya tentang alam. Persepsi ini membawanya pada kesadaran tentang keabadian, persoalan yang digali berbagai pemikiran filsafat untuk memahami ketidak-abadian manusia yang diyakini berada pada posisi sentral dalam kehidupan.  Bunawijaya melihat keabadian dalam alam tercermin pada infinity; waktu yang tak berujung. Ia meyakini, alam yang pada pengetahuan manusia ditandai terutama oleh kehidupan vegetatif berada pada ruang infinity. Sementara itu kehidupan mahluk hidup di ruang ini terus menerus berubah dari zaman ke zaman karena selalu dibatasi waktu. Dalam memahami kehidupan, kita terlalu terpaku pada pola kita sebagai manusia dan menempatkan mahluk hidup pada tempat utama. Karena itu kita tidak bisa merasakan kehidupan alam yang tidak bernafas seperti kita, tidak bisa bicara seperti kita, tidak dibatasi mortalitas seperti kita. Hanya dengan kepekaan kita bisa merasakan nafas dan kehidupan alam yang mempunyai sistem jauh lebih rumit dari sistem apa pun yang kita kenal.

“Kita tidak sebetul-betulnya  bisa mengerti mengapa alam di satu waktu memberi  rasa damai dan di waktu lain menunjukkan kekuasaan yang bikin kita takut,” ujar Bunawijaya. “Melalui misteri alam seperti ini saya merasakan kehadiran Tuhan.”

(Jim Supangkat, kurator pameran)

 

Download e-catalogue